FIQH
A. Pengertian
Fiqih
menurut bahasa berarti faham. Dalam Al-Qur’an faham dimaksud dapat
diartikan pada faham agama. Tafaqquh fiddin disebutkan dalam QS
At-Taubah ayat 122. Dalam hadits disebutkan menurut riwayat al-Bukhori dan
Muslim:
“Barangsiapa
yang Allah menghendakinya baik, menjadikan orang itu faham dalam agama (HR.
Bukhori dan Muslim
Menurut
istilah, fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang
berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil
(jelas).Orang yang mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha,
yakni orang-orang yang mendalami fiqh.
Dalam
kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqh mempunyai dua makna, yakni menurut
ahli usul dan ahli fiqh. Masing-masing memiliki pengertian dan dasar
sendiri-sendiri dalam memaknai fiqh.
Menurut
ahli usul, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum shara’ yang bersifat
far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil (khusus,
terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqh adalah mengetahui
fiqh adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut
para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum shara’ yang menjadi
sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh
dan mubah.
Lebih
lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fiqh Islam
ialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan dari berbagai madzhab yang
empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in,
baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun fuqaha makkah, fuqaha sham,
fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan lain-lain.
2. Sejarah
perkembangan Fiqh
1. Zaman
Rasulullah S.A.W.
Pada zaman Rasulullah S.A.W., hukum-hukum diambil
dari wahyu (al-Quran) dan penjelasan oleh baginda (as-Sunnah). Segala masalah
yang timbul akan dirujuk kepada Rasulullah S.A.W. dan baginda akan menjawab
secara terus berdasarkan ayat al-Quran yang diturunkan atau penjelasan baginda
sendiri. Namun, terdapat sebagian Sahabat yang tidak dapat merujuk kepada Nabi
lantaran berada di tempat yang jauh daripada baginda, misalnya Muaz bin Jabal
yang diutuskan ke Yaman. Baginda membenarkan Muaz berijtihad dalam perkara yang
tidak ditemui ketentuan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Setelah kewafatan Rasulullah
S.A.W., sebarang masalah yang timbul dirujuk kepada para Sahabat. Mereka mampu
mengistinbat hukum terus dari al-Quran dan as-Sunnah kerena:
1. Penguasaan bahasa Arab yang
baik;
2. Mempunyai pengetahuan
mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau sabab wurud al-hadis;
3. Mereka merupakan para Perawi
Hadis
Hal ini menjadikan para Sahabat mempunyai kepakaran yang cukup untuk
mengistinbatkan hukum-hukum. Mereka menetapkan hukum dengan merujuk kepada
al-Quran dan as-Sunnah. Sekiranya mereka tidak menemui sebarang ketetapan hukum
tentang sesuatu masalah, mereka akan berijtihad dengan menggunakan kaedah qias.
Inilah cara yang dilakukan oleh para mujtahid dalam kalangan para Sahabat
seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq, Saidina Umar bin al-Khattab, Saidina Uthman
bin Affan dan Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya mereka mencapai kata sepakat
dalam sesuatu hukum maka berlakulah ijma’.
Pada zaman ini, cara ulama’ mengambil hukum tidak jauh berbeda dengan
zaman Sahabat kerana jarak masa mereka dengan kewafatan Rasulullah S.A.W. tidak
terlalu jauh. Yang membedakannya ialah sekiranya sesuatu hukum tidak terdapat
dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-Ijma’, mereka akan merujuk kepada pandangan
para Sahabat sebeum berijtihad. Oleh sebab itu idea untuk menyusun ilmu Usul al-Fiqh
belum lagi muncul ketika itu. Inilah cara yang digunakan oleh para mujtahid
dalam kalangan tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair,
Al-Qadi Syarih dan Ibrahim an-Nakha’i.
Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah.
Bilangan umat Islam bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya percampuran
antara orang Arab dan bukan Arab. Kesannya, penguasaan bahasa Arab dalam
kalangan orang-orang Arab sendiri menjadi lemah. Ketika itu timbul banyak
masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah secara
jelas. Hal ini menyebabkan para ulama’ mulai menyusun kaedah-kaedah tertentu
yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk dijadikan landasan kepada ijtihad
mereka.
Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu ilmu yang tersendiri di dalam
sebuah kitab berjudul ar-Risalah karangan al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafie.
Kitab ini membincangkan tentang al-Quran dan as-Sunnah dari segi kehujahan
serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber penentuan hukum.
Sejarah Perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi
fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari
Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad
az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut
sebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya
terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak
kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode
ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW.
Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh
pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu
masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat
dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah
Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada
periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian
mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat
jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah,
ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan
hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun
muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh
sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode al-Khulafaur
Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk
pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini,
disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya
berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan
ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini,
khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad
sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang
muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin
kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan
budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama
kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai
kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena
daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing
memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari
kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru
tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat
pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai
dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika
dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan
ijtihad.
3. Periode awal pertumbuahn
fiqh.
Masa ini dimulai pada
pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan
titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam.
Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur
Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644
M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah
tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas'ud muncul
sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana.
Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat
Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di Irak telah terjadi
pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih
bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud
mengikuti pola yang telah di tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih
berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat
dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil Umar bin al-Khattab dan
Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan
saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam
berijtihad lebih dominan. dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran
ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi). Sementara itu, di Madinah yang
masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan
Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai
persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak
menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan
sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah
dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal
ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW
diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak
hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai
persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak.
Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal
bagi munculnya alirah ahlulhadits. Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak
sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di
daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais
an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah;
al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir
bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id
bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya
Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w.
126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di
Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi
thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di
zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh
mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh
an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal
abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban
Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000).
Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah
semangat ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran
tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja
dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum
lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750
M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti
Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa
Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal
Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari
formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks.
Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika
Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar
kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid
juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah
administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi
permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika
Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta
Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi
pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya
yang berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).
Pada awal periode keemasan ini,
pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga
menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha
melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab
fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak
hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas
persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh
taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini
baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi,
dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum.
Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu
yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara
dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk
meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam
Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah
satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam
asy-Syaibani di Irak. Di samping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari
hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan
literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu. Periode
keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul
fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah
al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir
ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang
muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul
fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan,
dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan
tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari
pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan
tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing
mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka.
Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh
imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid
mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka
ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama
fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang
melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari
tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah
sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga
setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa
mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang
mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada
para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada
salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi
yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti
pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan
pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya
dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga
aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad,
sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam
menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing.
Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang
benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab
semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap
ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan
sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang
tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun
mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu,
namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab
masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku
yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang
ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
6. Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada
pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum
Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada
periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada
periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga
dengan periode taqlid secara membabi buta.Pada masa ini, ulama fiqh lebih
banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun
dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar
(ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah
dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku
mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir
tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk
menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada
semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari
gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai
persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan
bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan
terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa
ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian
dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh
ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu
yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
o Muncul beberapa produk fiqh
sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah
at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri
(penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan
hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat
tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan
pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya,
pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada
dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan
kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk
melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah.
Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang
berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator
atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan
oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman
al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti
Kerajaan Turki Usmani).
o Di akhir periode ini muncul
gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini
ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah
al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di
seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi
C. Pembagian Fiqh
Ibadah artinya pengabdian dan
penyembahan seorang Muslim terhadap Allah yang dilakukan dengan merendahkan
diri serendah-rendahnya dan dengan niat yang ikhlas menurut cara-cara yang
ditentukan oleh agama.
2- Muamalat
Muamalat ialah peraturan agama
untuk menjaga hak milik manusia dalam tukar menukar barang atau seuatu yang
memberi manfaat dengan cara yang ditentukan agama agar tidak terdapat
keterpaksaan dari salah satu pihak, penipuan, pemalsuan, dan segala pendzaliman
yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
Perbedaan Fiqh
Ibadah dan Muamalah 2
Dalam tulisan
sebelumnya telah disebutkan satu perbedaan antara fiqh Ibadah dan
muamalah,yaitu perbedaan dalam hukum asal, perbedaan lain diantar ke 2 fiqh
tersebut :
1. fiqh Ibadah
mempunyai karakter yang tetap, tidak berubah dan bersifat stagnan dalam
pengertian bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam aspek ibadah, shalatdari
zaman nabi hingga saat ini dan masa yang akan datang pasti sama, rakaatnya ,
macam-macamnya dan segala yang berhubungan dengannya, berbeda dengan fiqh
muamalah yang bercirikan dinamis dan progresif, bayak didapatkan bentuk usaha
saat ini yang belum pernah ataupun tidak sekomplex pada saat nabi Muhammad
alaihissalam hidup, seperti perbankan, asuransi dll
2. Fiqh Ibadah
tidak dituntut sikap kritis dan rasional, karena substansinay adlah keatatan
kepada Allah, kita tidak perlu mengetahui rahasia shalat 5 waktu dalam sehari,
haji harus dengan wukuf dll, tapi bentuk ketatan dan kepatuhan adalh yang
paling utama (with no reserve), berbedad dengan Fiqh Muamalah yang bercirikan
rasionalitas dan logis, buktinya adlah yang terlarang dalam praktek muamlah
adlah segala bentuk transkasi yang merugikan dan mendatangkan mudharat kepada
manusia, riba diharamkan karena bertentangan dengan nilai keadilan dan kemanusiaan.
3. fatwa dalam
fiqh ibadah berdasrkan kehati-hatian, sedangkan fatwa dalam fiqh Muamalah
berdasrkan aspek kemudahan, karena lingkup fiqh muamalah yang lebih luas dan
berkembang
4. Ijtihad
dalam Ibadah lebih sedikit dibandingkan Ijtihad dalam aspek muamalah
5. fiqh Ibadah
tidak berkembang sedangkan fiqh Muamalah berkembang sesuai dengan perkembangan
manusia dalam bermuamalah
D. Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam
fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan
manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber
pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan,
maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum
khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka
jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman
Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah
yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau
persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah
kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.”
(Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
(Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh
Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad
no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa
dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu
keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk
menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat
setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua
rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua
rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi
shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui
disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi
yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua
setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn
dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya
jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari
Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai
penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah
shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu
Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(Bukhari no. 595)
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah
menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti
pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’
bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad
shollallahu’alaihiwasallam dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan
jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau
sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan
beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil
akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi shollallahu’alaihiwasallam,
bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa
yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.”
(Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.”
(Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek
mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak
terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu:
Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara
lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan
sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak
mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al
Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
1. Dasar (dalil).
2. Masalah yang akan diqiyaskan.
3. Hukum yang terdapat pada
dalil.
4. Kesamaan sebab/alasan antara
dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan
dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan,
dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan
nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai
hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu
“memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram
sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang
menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan
semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam
kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).
sumber : berbagai alamat website dan buku beserta pemikiran.